Senin, 29 Februari 2016

THIS STAR WON'T GO OUT REVIEW

tHis stAr woN’T gO oUt
-Lori & Wayne Earl-


Buku ini mendapat penghargaan sebagai Best Memoir & Autobiography Goodreads Choice Award 2014. Aku tidak tau sih artinya apa? Tapi yang pasti buku ini mendapat pengakuan sebagai buku autobiografi pilihan yang baik bagi pembaca. Autobiografi/au·to·bi·o·gra·fi/ n riwayat hidup pribadi yang ditulis sendiri (dikutip dari http://kbbi.web.id/autobiografi). Kita bisa belajar dari pengalaman atau cerita hidup seseorang yang mungkin kita tidak pernah dapatkan dalam hidup kita sendiri.
Buku yang berjudul This Star Won’t Go Out ditulis oleh Lori dan Wayne Earl yaitu orang tua seorang gadis yang mengidap kanker tiroid, Esther Grace Earl. Dalam buku ini tidak hanya berisikan pemaparan dari Lori dan Wayne, namun kita juga bisa membaca tulisan-tulisan Esther dan melihat foto-fotonya. Hal tersebut sangat membuat hidup buku ini. Ada juga beberapa tulisan dari teman-temannya yang sangat bahagia pernah menjadi bagian hidup Esther. Pada bagian awal buku terdapat kata pengantar yang ditulis oleh John Green (my favorite writer).
Buku ini sangat menyentuh (sempat berurai mata juga) di mana berawal dari seorang gadis biasa yang bersemangat dan suka bermain-main layaknya gadis lain, namun Esther harus menghadapi kenyataan bahwa ia mengidap kanker tiroid yang membuat ganggu pernafasannya. Berdasarkan alasan kesehatan Esther lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, tepatnya di dalam kamar. Tentu saja itu sulit dibayangkan di mana anak-anak seumurnya harusnya lebih banyak berpetualang di luar. Seperti tulisan Andrew Slack tentang Esther, kondisi fisik menjadikan keinginannya hampir mustahil terlaksana. Namun, untunglah, ada Internet.
Yupz, internetlah yang mengobati kerinduan Esther terhadap interaksi sosial. Melalui internet ini ia menemukan orang-orang luar biasa yang pada akhirnya menjadi sahabat-sahabatnya. Persahabatan yang menggambarkan arti kasih sayang yang tanpa imbalan. Esther yang menjadi penyatu mereka. Kebersamaan mereka begitu hidup bagiku sebagai pembaca pada saat acara Make A Wish. Acara yang mereka sadari mungkin adalah acara terakhir mereka bersama Esther. Begitu banyak momen yang lucu dan bahagia di sana.
Aku pun sangat menyukai Esther karena dalam tulisannya ia sangat jujur sebagai manusia yang tengah mengidap kanker. Esther tidak berlagak tabah dalam menghadapi penyakitnya, karena dibeberapa tulisanya juga terdapat ungkapan-ungkapan perasaan mengapa ia harus mengalami itu. Namun, penerimaan Esther bukanlah sebagai kepasrahan tapi murni sebuah penerimaan terhadap penyakitnya. Teman-temannya pun menerima Esther bukan atas dasar perasaan kasihan namun karena mereka mencintai Esther.
Menjadikan Autobiografi sebagai pelajaran bagi kita bukan berarti bahwa kita bersenang-senang di atas penderitaan seseorang. Namun, dengan membaca sebuah Autobiografi kita bisa belajar untuk lebih memaknai dan menghargai kehidupan kita. Seperti yang ditulis John Green dalam kata pengantarnya, dia mengingatkan aku bahwa umur pendek bisa berarti kehidupan yang baik dan berwarna, bahwa sangat mungkin untuk hidup dalam depresi tanpa dilesapkan olehnya, dan makna dari kehidupan ditemukan bersama, dalam keluarga dan persahabatan yang melampaui dan bertahan dari berbagai macam penderitaan.

Buku ini aku baca pada minggu terakhir bulan Februari. Buku ini sangat luar biasa yang dapat memberikan suntikan atas perspektifku terhadap kehidupan. Hidup Esther yang sudah dipastikan endingnya oleh kanker tiroid tidak membuatnya putus asa, namun hal itu membuat ia menerima cinta begitu luar biasa dari orang-orang terdekat ataupun jauh serta orang yang mengenalnya secara nyata maupun tidak. Meskipun Esther sudah tiada, namun ia tetap hidup di hati orang-orang yang mencintainya itulah makna dari This Star Won’t Go Out. Hidup kita yang sehat tidak menjamin bahwa kita akan memiliki kehidupan yang panjang bukan. Ketidakpastian kita bahkan bisa lebih buruk bagi mereka pengidap kanker jika kita hanya menghabiskan waktu dengan mengkhayalkan masa depan yang entah mungkin atau tidak kita dapati. Appreciate your time! Take an action! And always give your best for today!

Sunset on Third Street review

SUNSET IN THIRD STREET
-   SAIGAN Ryogei

Komik ini aku baca tepatnya  pada pertengahan bulan Februari yang hanya menyita waktu satu hari. Bukan hal luar biasa juga sih karena komikkan biasanya bukan buku yang tebal malah cenderung tipis. Namun, kenapa diriku nggak beranjak dari komik ini karena menurutku ceritanya bagus banget. Aku sih bukan comic-holic gituh, tapi beberapa kali sempat ngelirik komik ini juga karena cover-nya lucu (I’m the one who judge something by the cover, kkk). Judulnya itu Sunset on Third Street yang mana pada bagian covernya menampilkan gambar tentang kehidupan keluarga (sepertinya). Dan aku suka banget cerita-cerita jepang baik komik ataupun anime yang ber-genre-kan kehidupan keluarga.
Koleksi pertamaku berawal dari volume 5, kkk

Komik Sunset on Third Street yang aku beli ini merupakan chapter 5, sebenarnya ini seri pertamaku. Sesuai otakku yang kadang mikir secara mundur dan baca novel kadang dari belakang, wkwkkw. Jadi ceritanya beli chapter 5 baru 4, 3, 2, 1, dorrrr!
Setelah plastik, yang tadinya rapi membungkus komik yang menampakkan bahwa ia belum pernah dibuka oleh siapapun, aku sobek. Ternyata ada 19 cerita pilihan editor yang katanya terbaik dan ini di luar perkiraanku. Sebelumnya aku pikir hanya ada cerita satu keluarga yang akan dibahas dalam komik ini, namun ternyata ada cerita beberapa keluarga. Meskipun di luar perkiraanku bukan berarti aku kecewa, tapi sebaliknya. Aku suka banget kalau ada buku yang berisikan kumpulan-kumpulan cerita yang berarti tingkat kebosananku tidak akan terganggu.
Diantara kesembilan cerita dalam komik ini aku sangat menyukai:
1.      Memanjat pohon
Bercerita tentang taro dan jiro ooki yang mana sang kakak senang sekali memanjat pohon. Saat Jiro menaiki pohon yang tertinggi di kampungnya. Sang adik sangat ketakutan dan sedih karena setelah menunggu sang kakak tak kunjung juga dari pohon tersebut. sang adik, Taro, takut jikalau kakaknya mengalami cerita yang biasanya kakaknya ceritakan di waktu mereka akan tidur. Taro pun pulang sambil menangis, kemudian mengatakan pada sang ibu untuk menolong kakaknya yang tak kunjung turun saat menaiki pohon. Sang ibu pun terkejut dan heran atas apa yang baru saja dibicarakan Taro. Karena itu sangat tidak mungkin, karena…
      (Mohon jangan penasaran!!!)
2.      Bunga Cosmos
Sepasang saudara kembara yang menjalani kehidupan layaknya saudara kembar. Iya, awalnya mereka selalu saja memiliki kesamaan seperti baju dan gaya rambut. Namun, setelah mereka dewasa masing-masing menampakkan perbedaan termasuk mengenai rencana masa depan. Haruko berkeinginan untuk berkerja setelah ia lulus dari SMA. Berbeda dengan saudara kembarnya, Akiko, yang berkeinginan untuk mengikuti kursus memasak dan sebagainya sebagai persiapan untuk menjadi ibu rumah tangga. Kehidupan pun mereka jalani berdasarkan keputusan mereka masing-masing.
Suatu ketika Haruko bercerita bahwa ia menyukai seorang pria yang sering ia lihat di stasiun, tetapi ia belum pernah berbicara. Di waktu yang sama Akiko mengajak Haruko bertemu seorang pria tampan yang katanya sudah lama menyukai Akiko meskipun Akiko tidak pernah kenal pria itu. Betapa terkejutnya Haruko bahwa pria yang mengajak kecan Akiko adalah pria yang sama yang sukai, pria yang ia lihat di stasiun. Haruko pun memendam hal tersebut dan Akiko akhirnya menikah dengan pria tersebut yang bernama Yukio. Haruko berpikir mungkinkah Yukio salah sangka bahwa yang Yukio temui di stasiun itu adalah Haruko bukan Akiko. Bagaimana kelanjutannya? Sangat indah untuk Haruko…
3.      Permen panjang umur
Ini nih yang paling de bes menurutku, Why? Karena sukses menembus pertahananku. Aku dibuat mewek dan menutup komik ini sembari berkata, “komik apa ini? Aku perlu komik yang lucu yang bisa membuatku terpingkal-pingkal karena tertawa bukan malah menangis”. Mungkin efeknya bisa berbeda-beda yah terhadap reader yang lain, namun entah terbawa suasana aku benar-benar berlinang air mata saat membaca ini.
Sebuah keluarga yang terdiri ayah, ibu dan keenam anaknya. Semua anaknya baik dan pintar kecuali anak kelima yaitu Mitsuro. Susah di atur, nakal dan ceroboh adalah sifat-sifat Mitsuro. Ia sering dihukum dan dimarahi oleh ayah maupun kakak-kakaknya. Salah satunya kenakalannya ialah ia tidak memperdulikan larangan “jangan menginjak semen yang basah”.
Shichigosan yaitu festival untuk memperingati anak yang berumur 7, 5 dan 3 tahun terpaksa dilewatkan Mitsuro yang saat itu berusia 5 tahun. Kedua orang tuanya memilih untuk memenuhi janji sebagai perantara perjodohan. Sang kakak yaitu Futaba (anak keempat) berusaha menghibur Mitsuro dengan pergi ke kuil dan membelikannya permen panjang umur. Mitsuro sangat senang karena Futaba adalah orang yang paling dekat dan perhatian dengannya. Mereka berbagi perasaan sebagai anak yang memiliki banyak saudara di mana tentunya perhatian orang tuanya terbagi dengan saudara mereka yang lain.
Seminggu kemudian, Futaba sangat khawatir karena Mitsuro tidak pulang-pulang setelah bermain. Futaba mencoba meminta bantuan pada kakak-kakaknya, namun karena Mitsuro memang sering berbuat onar maka mereka menggangap ini salah satu keonaran Mitsuro. Tapi sampai malam Mitsuro tidak pulang juga dan seluruh keluarga berusaha mencarinya. Merekapun sangat sedih dan masing-masing menyesali atas sikap dan tindakan mereka selama ini yang tidak terlalu peduli terhadap Mitsuro. Di saat Futaba keluar rumah, tangisannya semakin keras saat ia melihat jejak kaki dan tangan Mitsuro pada semen yang telah mongering. Salah satu keonarannya itu adalah kenang-kenangan terakhir dari Mitsuro. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Mitsuro?

Alasan aku menyukai komik ini karena selalu ada kejutan diakhir cerita atau bisa masuk kategori cerita yang endingnya itu ­twisted (apaseh maksudnya? Ya.. begitulah…). Nggak sabar buat baca chapter 4-nya.

Kamis, 25 Februari 2016

Review Novel pencarian Jati Diri: Paper Towns

Paper towns
-john Green-

The way figure it, everyone gets a miracle!
(Kindness- Swinging Party : play on)

Wakakka, ngikut ala-ala Quentin di awal cerita yang membawakan narasi tunggalnya. Selamat bulan Februari yang katanya bulan cinta. Sorry banget ni (meminta maaf pada diri sendiri karena tidak bisa disiplin dalam menulis) karena bulan ini ikut project dosen dan lagi giat-giatnya ngerjakan tesis, maka review-pun tak kunjung ditulis.
            Meskipun aku tidak merayakan yang namanya “Valentine”, tapi tema bacaanku aku sesuaikan dengan ada tema cinta-cintanya gitu. Sebenarnya tema yang beginian bukanlah genre favoritku, koleksinya pun bisa dihitung pake jari. Tapi nggak papa juga sekali-kali dech, selain memvariasikan bacaanku juga bisa menambah warna dan genre di rak buku (yang sebenarnya nggak ada raknya,heeeee).
            Paper towns ini sudah ada versi filmnya dan yang main aktris/ model dan actor favoritku. Cara Delevigne sebagai Margo Roth Spiegelman dan Quentin diperankan oleh Nat Wolff (waaaaaaaaaaaaa). Meskipun sudah tau gimana ceritanya, tapi aku tetap saja penasaran dan ingin membaca novelnya. Dan aku dapat novelnya yang ber-cover versi filmnya oleh Twentieth Century Fox. Look!!! 



Review kali ini aku buat dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan diskusi pada novel Paper Towns versi English yang bisa di download gratis. Yupz, gila yach, nonton filmnya udah, baca novel versi English yang gratis juga udah, tapi kok tetep ngotot beli yang versi Indonesia. Sudahlah… jadi ada 27 pertanyaan yang bisa diskusikan dengan teman yang bisa membuat kita memahami secara mendalam novel ini. Berhubung nggak ada teman diskusi jadilah cuma enam pertanyaan yang akan aku bahas di sini.

Question no. 8: Do you think Margo wants to be found? Do you think Margo wants to be found by Q?
Menurutku Margo tidak ingin ditemukan termasuk oleh Q. pertanyaan ini bisa dijawab oleh reaksi Margo saat melihat Q bersama teman-temannya menemuinya. Margo sangat terkejut dengan apa yang membawa Q ke sana.
Halaman 325: “…. Kurasa mungkin kita harus mulai dari, apa sebenarnya yang kalian lakukan di sini? à Margo
Halaman 328: “Ku pikir kau ingin kami menemukanmu.” à Q
                        “Jelas sekali aku tidak ingin itu.” à M

Question no. 21: Which philosophy of life do you most agree with: Margo’s Strings? Whitman’s Grass? Or Q’s Cracked Vessel? Why?
Di bagian-bagian akhir saat Margo dan Q berbicara berdua mereka mendiskusikan tentang bagaimana filosofi berkaitan dengan mereka masing-masinng.
Margo’s String:
Halaman 346: kalau kau memilih senar, artinya kau membayangkan dunia di mana kau bisa pecah tanpa dapat diperbaiki lagi. Tapi senar membuat penderitaan tampak lebih fatal daripada yang sebenarnya, menurutku. Kita tidak serapuh senar.
Whitman’s Grass:
Halaman 347: kalau kau memilih rerumputan, kau mengatakan kita semua terhubung, bahwa kita bisa memanfaatkan sistem akar itu bukan hanya untuk memahami satu sama lain tapi juga menjadi satu sama lain.
Tapi kita bukan tunas yang berbeda dari tumbuhan yang sama. Aku tidak bisa menjadi kau. Kau tidak bisa menjadi aku. Kau bisa membayangkan orang lain dengan baik – tapi tidak pernah dengan sempurna.
Q’s Creacked Vessel:
Halaman 347:
Seolah, kita semua berawal sebagai wadah kedap air. Dan hal-hal ini terjadi – orang-orang ini meninggalkan kita, atau tidak menyanyangi kita, atau tidak memahami kita, atau kita tidak memahami mereka, dan kita kalah, gagal, dan saling menyakiti. Dan wadah itu mulai retak di beberapa tempat. Dan baru pada saat itulah kita bisa melihat satu sama lain, karena kita memandang ke luar diri kita lewat retakan-retakan kita dan menatap orang lain melalui retakan-retakan mereka.
Aku menyukai ketiganya, sangat diriku. Maaf aku tidak bisa memilih

Question no. 18: Q’s parents describe people as “mirrors” and “windows”. What does this mean? Do you agree with this metaphor?
Halaman 232: “Semuanya masih mungkin”, kataku. Satu Margo lagi masing-masing kami – dan masing-masing hanyalah cermin bukannya jendela.
Kembali ke beberapa halaman.
Halaman 228-229:
Oleh Ayahnya Q: …,”semakin aku menyadari bahwa manusia kekurangan cermin yang bagus. Sangat sulit bagi siapa pun untuk menunjukkan kepada kita bagaimana penampilan kita, dan sangat susah bagi kita untuk menunjukkan kepada siapa pun apa yang kita rasakan.” à menjelaskan tentang jendala
Oleh Ibunya Q: … Kita mengidealisasikan mereka sebagai dewa atau mengaggap mereka sebagai binatang.” à menjelaskan tentang mirror/cermin
Oleh Q sendiri: selama ini – bukan hanya sejak dia pergi, tapi dalam kurun waktu satu decade sebelumnya – aku membayangkan dia tanpa mendengarkan tanpa mengetahui bahwa dia adalah jendela yang buruk sama seperti aku.
Kesimpulannya: mirror/cermin menggambarkan bagaimana diri kita atau orang lain adalah refleksi dari apa yang kita atau orang lain pikirkan. Jendela adalah diri kita yang sebenarnya, bahwa kita harus melihatnya ke dalam untuk tau siapa diri kita sebenarnya.
Question no. 19: Q comes to this conclusion: “Margo was not a miracle. She was not an adventure. She was not a fine and precious thing. She was a girl”. Discuss.
Berkaitan dengan jawaban pertanyaan no 18 bahwa Quentin disadarkan oleh percakapan ayah dan ibu Q tentang cermin dan jendela. Selama ini Q menganggap bahwa Marga pantas menjadi sebuah keajaiban dalam hidupnya. Semua itu hasil dari pikiran dan keyakinan yang dibentuk Q untuk Margo yang sebenarnya bahwa Margo tidak jauh berbeda dengan Q. Manusia biasa yang punya masalah seperti layaknya Q dan orang lain. “Margo was not a miracle. She was not an adventure. She was not a fine and precious thing. She was a girl”. Kata-kata ini muncul dibagian tengah novel yang berbeda dari versi film yang muncul diakhir cerita saat Q memutuskan untuk meninggalkan Margo dan pergi ke Prom untuk menemui teman-temannya. Aku lebih menyukai versi filmnya untuk satu adegan ini, sangat dramatis.
Question no. 25: The book opens with two epigraphs, a poem and a song. Why do you think the author chose these? Why do you think he chose to use them together?
“Dan setelahnya, ketika
kami pergi ke luar untuk menatap lenteranya yang selesai dibuat
dari jalan, aku berkata aku suka cara cahayanya
menerangi wajah yang muncul sekelebat dalam gelap.”
-Jack O’Latern,” Katrina Vandenberg dalam Atlas
Ini merupakan penggalan puisi yang menurutku menuntun cerita tentang jati diri manusia.
“Kata orang, teman takkan menghancurkan satu sama lain.
Tahu apa mereka soal teman?”
-”Game Shows Touch Our Lives,” The Mountain Goats
Ini merupakan penggalan lirik lagu yang menurutku menuntuk cerita tentang pertemanan.
Yach ini berkaitan dengan GB alias garis besar cerita Paper Towns yang membahas masalah Q diakhir masa SMA yang memberikan perubahan terhadap kehidupan dan prespektif dalam memandang kehidupan melalui pencarian Margo. Memahami secara mendalam tentang jati diri dan pertemanan.
Question no 27: Discuss the last line of the book, how it relates to the rest of the story, and what it ultimately says about Margo and Q’s relationship.
Q menggambarkan akhir hubungannya dengan Margo seperti senar yang putus. Artinya mereka tidak akan pernah bersama karena mereka telah memutuskan kehidupan mereka masing-masing.
Halaman 350: Kami memainkan senar putus instrument kami untuk terakhir kalinya.
OMG, I really really love and adore this John Green Novel! Mengapa aku betah membaca ini yang biasanya akan termuntah-muntah dengan cerita cinta ala-ala cinta itu buta? Karena cerita ini menurutku sangat indah dan jauh dari kevulgaran atas gembar-gembor drama percintaan ala-ala remaja. Alih-alih novel ini memberikan kita kesadaran atas diri kita dan bagaimana seharusnya kita memandang orang lain. Yupz, aku lebih memilih ini novel filosopi, wkakak, karena sedikitnya bisa mengubah cara pandangku. Setuju banget kalo kadang bahkan kita sering kita menganggap seseorang pantas kita anggap sebagai malaikat, toh mereka juga manusia sama seperti kita. Apa lagi adegan saat Q memilih untuk kembali ke kotanya di mana orang tua dan teman-temannya berada daripada pergi bersama Margo. That’s so rational. Kalau drama-drama mah pastinya Q mengorbankan keluarga dan teman-teman bahkan cita-citanya hanya seorang gadis yang ia anggap seperti dewi. But, it didn’t happen to Q’s story.

thanks ~